Senin, 24 Agustus 2009

Salam Jurnalistik & Selamat Pagi

Dari Redaksi

Salam Jurnalistik adalah sebuah kata sapaan yang bermakna mengingatkan. Bahwa kami memang hadir sebagai sebuah bagian dari pilar komunikasi. Selain Salam Jurnalistik, kata sapaan lain adalah Selamat Pagi.
Kami selalu mengucapkan kata Selamat Pagi saat melakukankegiatan diluar ruang. Meskipun itu sudah tidak pagi lagi
Kalau boleh menterjemahkan, semangat Selamat Pagi dan Salam Jurnalistik adalah untuk menggambarkan pola hidup seorang wartawan. Yang selama 24 jam harus selalu merasa hari baru dumulai dan terus melakukan aktifitas jurnalistik.
Kemudian, berawal dari tambahan motto kepengurusan Persatuan Wartawan Bojonegoro yang baru: Wartawan Bojonegoro Harus Lebih Baik, yang melengkapi motto sebelumnya: Tiada Hari Tanpa Menulis, Tiada Hari Tanpa Belajar, maka melalui Musyawarah Anggota I, dalam agenda rapat komisi, di-gedok-lah keputusan penerbitan media cetak.
Sengaja dipilih nama Jurnal 15 Bojonegoro [baca: Jurnalis Bojonegoro], karena direncanakan rutin terbit pada tanggal 15 setiap bulannya. Yang berbeda secara fisik adalah mengenai atributnya, seluruh awak Jurnal 15 Bojonegoro, dipastikan tidak akan dibekali kartu pers. Bukan tanpa alasan, karena seluruh awak Jurnal 15 Bojonegoro adalah para wartawan yang tergabung di dalam Persatuan Wartawan Bojonegoro.
Selain atribut, artikel dan Jurnal berita yang akan disajikan pun tergolong berbeda. Dilengkapi dengan opini dari kalangan pers Bojonegoro, sajian utama kami merupakan berita bergaya semi investigatif dan penjurnalan peristiwa.
Dikelola secara bergantian oleh forum-forum di tubuh PWB, dimaksudkan agar nantinya dapat dijadikan sebagai wadah pembelajaran manajemen usaha penerbitan media cetak secara mandiri.
Dalam edisi perdana ini, kami selaku redaksi dan pengelola yang dinamakan Forum 1, mencoba menyajikan Bendung Gerak (Bojonegoro Barrage). Dipilih tema tersebut, karena Bojonegoro sendiri memiliki ciri khas, yakni Bengawan Solo, Pohon Jati, Minyak dan Gas Bumi, serta tanaman Tembakau.
Ditambah dengan rubrik budaya dan pelajar yang memang bertujuan untuk bersinergi secara positif dengan mereka, yakni melalui propaganda budaya. Selain itu, kami juga mencoba untuk melakukan sinergi dengan instansi-instansui yang ada di Bojonegoro, tentunya demi kebaikan bersama.
Secara konsep, sebenarnya gagasan penerbitan media cetak ini adalah demi menjaga profesionalisme wartawan, serta membantu pemerintah melalui kritik yang bersifat membangun dan mensosialisasikan program-prgram yang bersentuhan langsung dengan rakyat banyak..
Berbagai kritikan, yang kami anggap sebagai cambuk, juga mewarnai keinginan kami untuk menerbitkan media cetak.

Angka Disekitarnya

Bendung Gerak

Pada Tahun 2007 lalu, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melalui Kasbudin Humas dan Media Informasinya kala itu, Jhony Nurhariyanto, sempat mengatakan bahwa proyek pembangunan Bendung Gerak sungai Bengawan Solo bakal rampung pada tahun 2011 mendatang.
Lokasi tepat mega proyek tersebut adalah di bantaran sungai Bengawan Solo di wilayah Desa Padang, Kecamatan Trucuk dan Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, Jawa Timur.
Secara umum, disebutkan bahwa nantinya bangunan yang nilai fisiknya mencapai Rp 150 Milyard (-data tahun 2007-) itu diharapkan berfungsi sebagai long storage atau tampungan air saat musim penghujan sehingga dapat juga bermanfaat pada saat musim kemarau.
Meski molor dari jadwal awal, yakni bulan September 2007, pengerjaan proyek tersebut kini telah mulai tampak wujudnya. Bahkan dari keterangan sejumlah warga, pembebasan lahan seluas hampir 33 hektar tersebut telah beres pada tahun 2006 lalu.
Dana pembebasan lahannya sendiri, yakni sebesar Rp 13 miliar (-data tahun 2007-) akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 50 persen, sisanya 25 persen dari APBD Jawa Timur dan 25 persen dari APBD Bojonegoro. Sementara itu, untuk pembangunan fisiknya, dari APBN dan bantuan dari Nippon Koei dari Jepang.
Dari data yang diperoleh, jumlah warga yang berada di lokasi pembebasan adalah sebanyak 261 KK dengan luas tanah total mencapai 306.390 m2.Menurut pemilik lahan yang telah dibebaskan, harga pembebasan tersebut adalah sebesar Rp 35.000 untuk per meter tanahnya.
Angka tersebut masih ditambah dengan ganti rugi tanaman yang ada di atasnya, yang berkisar antara Rp 70.000 hingga Rp 250.000,- per batang, yang tergantung jenis tanamannya.
Hingga pada pertengahan tahun 2007 lalu, yakni saat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai II DPU melakukan dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Bojonegoro, angka pembangunan fisik tiba-tiba melonjak menjadi Rp 250 Milyard.
Selain perubahan nilai fisik mega proyek, ternyata dalam penjelasanannya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai II DPU mengatakan bahwa nantinya pembangunan Bendung Gerak selain sebagai upaya mengantisipasi banjir luapan sungai Bengawan Solo (-bukan lagi hanya sekedar long storage-), juga untuk mencukupi kebutuhan air baku, baik air minum, juga pertanian dan kebutuhan air eksplorasi dan eksploitasi sumur Migas Blok Cepu.
Tak berhenti disitu, di awal tahun 2009 perkiraan nilai fisiknya kembali berubah, melalui beberapa kesempatan disebutkan bahwa nilai fisik dan pengerjaannya kembali membengkak menjadi sebesar Rp 350 Milyard. Bahkan untuk dana pembebasan lahan, yang semula diperkirakan bakal menghabiskan dana sebesar Rp 13 miliar, ikut membengkak menjadi hingga Rp 17 Milyard. Rencananya, pembiayaan proyek tersebut akan menggunakan tiga tahun anggaran.

Bagian dari LSRIP

Bendung Gerak

Bendung Gerak merupakan bagian dari program paket Lower Solo River Improvement Project (LSRIP). Yang terdiri dari tanggul sepanjang 110 km di Cepu-Babat, Bojonegoro Barrage, Jabung Ring Dike for Retarding Basin, serta Early Warning System dan telemetri.
“Bendung gerak adalah bagian dari program jangka panjang penanggulangan banjir,” ujar Ir Andi Tjandra, selaku Kepala Dinas PU Bojonegoro.

Master Plan Bendung Gerak

Bendung Gerak

Master Plan bendung gerak di wilayah Desa Padang yang sempat mengemuka adalah sebuah bentuk bangunan yang memiliki panjang 1.841,752 m. Diklaim akan mampu menampung air sebanyak 13 juta meter kubik dan memiliki daerah tangkapan air seluas 12,467 km2.
Hal itu diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan air irigasi pertanian lewat pompanisasi dengan debit 5.850 liter/detik di Kabupaten Blora seluas 665 ha dan Kabupaten Bojonegoro seluas 4.949 ha.
Selain itu, juga bisa mencukupi kebutuhan air industri di Blora 118 liter/detik dan Bojonegoro 961 liter/detik. Pintu bendung gerak akan ditutup ketika masuk musim kemarau dan airnya ditampung di badan sungai diatasnya.
Mengenai bentuk fisiknya secara riil, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bojonegoro, Ir Andi Tjandra, pernah memperkirakan tak akan jauh berbeda dengan bendungan serupa di Lamongan.
Hingga saat ini, maket desain dari bendung gerak dan prakiraan desain bangunan pendampingny, masih belum terpublikasikan secara luas dan detil.
Hal itu ditegaskan oleh pihak Bakorwil Jawa Timur di Bojonegoro, yang mengatakan bahwa kemungkinan maket tersebut hanya ada di pusat.

Mengorbankan Kultur

Bendung Gerak

Ratusan warga rela mengorbankan kultur pekerjaannya.
Yang semula adalah petani,

kini rela menjadi pengumpul kayu bakar


Perubahan kultur warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek Bendung Gerak Bojonegoro Barrage mulai tampak. Sebelumnya, selama puluhan tahun, warga Desa Padang, Kecamatan Trucuk merupakan masyarakat agraria yang menggantungkan hidupnya pada lahan garapan mereka.
Namun sejak lahan-lahan, yang luasnya disebut-sebut mencapai 33 hektar tersebut dibebaskan, perlahan kehidupan mereka mengalami perubahan. Diawal-awal pemebeasan lahan, memang bisa disebut bahwa warga yang menggarap lahan tersebut ketiban durian jatuh. Untuk diketahui, sebagian lahan warga yang dibebaskan adalah tanah negara.
Ratusan warga satu persatu menikmati proyek nasional tersebut, lahan mereka dibeli dengan harga Rp 35.000 per meter perseginya, masih ditambah jumlah taksiran pohon, bangunan dan tanaman lainnya. Bila dikalkulasikan, rata-rata per hektar bisa mencapai 60 sampai 70 juta rupiah.
Sementara itu, sebagian besar setiap Kepala Keluarga di wilayah tersebut mempunyai lahan garapan seluas 0,5 hektar. “Saya dapat Rep 29 Juta, itu saya gunakan untuk biaya sekolah anak,” demikian gambaran ungkapan warga yang disampaikan oleh Kasto (53).
Selain untuk keperluan biaya sekolah, mereka juga menggunakan uang ganti rugi untuk membeli sepeda motor dan renovasi rumah, serta tak lupa investasi khas masyarakat pedesaaan, yakni seekor sapi. “Kira-kira waktu itu sisanya sekitar Rp 5 juta,” tambah yang lainnya.
Kini tiga tahun berlalu, parapetani yang kaya mendadak itu tiba-tiba tersadar bahwa uang mereka mulai menipis, bahkan sebagian telah habis. Sejak awal tahun 2009 lalu, beberapa warga yang sempat mem-permanen-kan rumah mereka, langsung banting stir.
“Dulu saya petani jeruk, sekarang jadi ibu kost,” terang Darsinah (42). Untuk sementara waktu, memang beberapa warga bisa memperoleh penghasilan tambahan dari tenaga kerja proyek yang menyewa kamar untuk tempat tinggal mereka.
Sejak dua bulan yang lalu, Desa Padang memang kedatangan pekerja dari luar daerah. “Kebanyakan dari Semarang, selain kost makannya juga kita yang sediakan,” tambahnya. Darsinah masih lebih beruntung, beberapa warga disana saat ini lebih mengandalkan pekerjaan sebagai pencari kayu bakar untuk menyambung hidupnya. “Sudah setahun ini saya julan kayu bakar,” ujar Sudi (42).
Mereka sebelumnya mengaku bisa mengandalkan hasil panen, dengan rata-rata hasil bersih setiap panen mencapai jutaan rupiah. “Kalau jeruk panennya setahun 2 kali, bersih sampai 3 juta sekali panen. Kalau kebun belimbing hanya 500 ribu per panen, tapi panennya lima kali setahun,” tambahnya.
Saat ini, ketika ditanya mengenai mata pencaharian pengganti, rata-rata warga mengaku akan bekerja seadanya. “Nggarap apa sajalah, sejujurnya kami ini mulai gelisah,” terangnya. Mereka mengharapkan adanya program khusus bagi warga yang kehilangan pekerjaan. “Kalau memungkinkan ya minta tolong lah diadakan latihan ketrampilan yang cocok,” harap mereka.

Menunggu Janji

Bendung Gerak

Salah satu warga Desa Padang yang mengaku lahan seluas 0,5 hektarnya dibebaskan, mengatakan bahwa pihak desa yang kala itu menjembatani sosialisasi dan proses pembayaran ganti rugi, pernah menjanjikan mengenai rekruitmen tenaga kerja lokal.
“Dulu memang dijanjikan akan kerja di proyek, tapi hingga saat ini masih alat-alat berat,” terang Sudi, warga desa setempat.
Kini janji tersebut merupakan satu-satunya harapan warga desa setempat, sementara Sudi dan warga lainnya mengisi hari-hari mereka dengan bekerja serabutan. “Terus terang ini kami menunggu, semoga janjinya ditepati,” tambahnya.
Selain lahan yang dibeli, ternyata sebagian lahan milik warga ada yang dibebaskan dengan sistem sewa. “Kalau yang disewa itu harganya cuma Rp 2.000 per meter persegi per tahunnya,” terangnya.
Selama disewa, lahan tersebut tidak boleh digarap warga, padahal sebelumnya merupakan lahan produktif. “Dulu kebun jagung, sekarang ya nganggur. Ini disewa selama 5 tahun,” tambahnya.
Kebanyakan lahan yang disewa difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat dan kebutuhan proyek lainnya. “Sementara ini untuk tempat tiang pancang, sebagian untuk jalan akses menuju proyek,” tambahnya.
Meski demikian, warga mengaku bahwa pihak pemerintah atau pengerja yang ditunjuk telah meberikan sejumlah kompensasi. “Yang paling kelihatan adalah pembangunan jalan poros desa. Dulu jelek sekali, sekarang ya sudah lumayanlah,” tambahnya.

Merancang Pelatihan

Bendung Gerak

Sekaan menjawab keluh kesah dari warganya, Sudiyono dengan lancar menjelaskan konsepnya terkait solusi pengganti mata pencahrian warga yang hilang. “Yang benar-benar hilang adalah para penambang pasir tradisional dan penyedia jasa perahu penyeberangan,” terangnya.
Untuk itu, dirinya berencana untuk mengusulkan adanya semacam pelatihan wiara usah bagi warga sekitar. “Kebetulan mereka itu terbiasa hidup di air, ya kalau bisa ada pelatihan ternak ikan air tawar,” tambahnya.
Bukan itu saja, dirinya jga mengaku siap mensosialisasikan bila nantinya ada pihak-pihak yang bersedia menyelenggarakan pelatihan mengenai budi daya ikan air tawar kepada warganya. “Entah itu udang lobster tawar ataukah budi daya gurami. Yang penting warga saya bisa memperoleh pekerjaan pengganti,” ujarnya.
Dirinya berfikir demikian karena menuirutnya, proyek tersebut bukanlah sebuah proyek yang membutuhkan pekerja lokal dalam jangka waktu yang panjang.
“Kalau itu pabrik, ya kami tidak perlu repot-repot mikir,” tambahnya. Dirinya juga mengaku bahwa saat pembebasan lahan dahulu, pernah ada janji untuk melibatkan warga lokal dalam pembangunannya.
“Tapi itu khan pekerjaan sementara, sekarang saja beberapa warga kami ada yang bekerja sebagai sekuriti,” pungkasnya.