Ratusan warga rela mengorbankan kultur pekerjaannya.
Yang semula adalah petani,
kini rela menjadi pengumpul kayu bakar

Namun sejak lahan-lahan, yang luasnya disebut-sebut mencapai 33 hektar tersebut dibebaskan, perlahan kehidupan mereka mengalami perubahan. Diawal-awal pemebeasan lahan, memang bisa disebut bahwa warga yang menggarap lahan tersebut ketiban durian jatuh. Untuk diketahui, sebagian lahan warga yang dibebaskan adalah tanah negara.
Ratusan warga satu persatu menikmati proyek nasional tersebut, lahan mereka dibeli dengan harga Rp 35.000 per meter perseginya, masih ditambah jumlah taksiran pohon, bangunan dan tanaman lainnya. Bila dikalkulasikan, rata-rata per hektar bisa mencapai 60 sampai 70 juta rupiah.
Sementara itu, sebagian besar setiap Kepala Keluarga di wilayah tersebut mempunyai lahan garapan seluas 0,5 hektar. “Saya dapat Rep 29 Juta, itu saya gunakan untuk biaya sekolah anak,” demikian gambaran ungkapan warga yang disampaikan oleh Kasto (53).
Selain untuk keperluan biaya sekolah, mereka juga menggunakan uang ganti rugi untuk membeli sepeda motor dan renovasi rumah, serta tak lupa investasi khas masyarakat pedesaaan, yakni seekor sapi. “Kira-kira waktu itu sisanya sekitar Rp 5 juta,” tambah yang lainnya.
Kini tiga tahun berlalu, parapetani yang kaya mendadak itu tiba-tiba tersadar bahwa uang mereka mulai menipis, bahkan sebagian telah habis. Sejak awal tahun 2009 lalu, beberapa warga yang sempat mem-permanen-kan rumah mereka, langsung banting stir.
“Dulu saya petani jeruk, sekarang jadi ibu kost,” terang Darsinah (42). Untuk sementara waktu, memang beberapa warga bisa memperoleh penghasilan tambahan dari tenaga kerja proyek yang menyewa kamar untuk tempat tinggal mereka.
Sejak dua bulan yang lalu, Desa Padang memang kedatangan pekerja dari luar daerah. “Kebanyakan dari Semarang, selain kost makannya juga kita yang sediakan,” tambahnya. Darsinah masih lebih beruntung, beberapa warga disana saat ini lebih mengandalkan pekerjaan sebagai pencari kayu bakar untuk menyambung hidupnya. “Sudah setahun ini saya julan kayu bakar,” ujar Sudi (42).
Mereka sebelumnya mengaku bisa mengandalkan hasil panen, dengan rata-rata hasil bersih setiap panen mencapai jutaan rupiah. “Kalau jeruk panennya setahun 2 kali, bersih sampai 3 juta sekali panen. Kalau kebun belimbing hanya 500 ribu per panen, tapi panennya lima kali setahun,” tambahnya.
Saat ini, ketika ditanya mengenai mata pencaharian pengganti, rata-rata warga mengaku akan bekerja seadanya. “Nggarap apa sajalah, sejujurnya kami ini mulai gelisah,” terangnya. Mereka mengharapkan adanya program khusus bagi warga yang kehilangan pekerjaan. “Kalau memungkinkan ya minta tolong lah diadakan latihan ketrampilan yang cocok,” harap mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar