
Sore itu (14/07/2009) Farikah (16) duduk termenung di kursi kayu depan rumahnya. Sesekali gadis lugu berkulit sawo matang itu melirik posisi matahari yang sudah mulai condong ke arah barat. Dia tidak sedikitpun melempar senyuman saat kendaraan roda empat milik operator Lapangan Minyak Banyuurip berlalu lalang di depan rumahnya.
Di RT 17 RW 04 Dusun Gledekan Desa Mojodelik Kec Ngasem, Farikah hanya bergumam bahwa dirinya telah lulus dari SLTP belum lama ini dan tidak dapat melanjutkan ke jenjang SLTA. Itu semua karena persoalan biaya sekolah yang tidak dapat lagi ditanggung oleh kedua orang tuanya.
Orang tuanya hanya sebagai penggarap sawah tadah hujan, yang juga milik saudagar tanah di desanya. Selain itu, untuk makan sehari hari sudah sangat sulit. Kera-p kali beras tidak dapat dibeli, karena tidak ada uang. Sehingga, ketela kering (gaplek) dipilih untuk pengganti beras.
Dari kondisi yang tidak dialami oleh teman sebayanya. Terpaksa, Farika tidak ada pilihan lain. Dia ditawari bekerja di Kota Surabaya. “Saya besok ini (kamis, 15/07, red) pagi pagi sekali pergi untuk kerja jadi pembantu rumah tangga, “ kata Farikah. Sebenarnya pekerjaan yang disebutnya bukanlah bagian dari cita citanya yang pernah dipuisikan dalam event seni di bangku SLTP nya dulu. Farikah bercita cita jadi dokter.
Meski demikian, Farikah bertekad akan melanjutkan sekolah. Dia mengaku akan menabung untuk terus bersekolah di kemudian hari, sambil menyisihkan upah kerjanya untuk menafkahi kedua orang tuanya. “Doakan saya biar dapat sekolah lagi, “ celetuk Farikah yang anak bungsu dari dua bersaudara.
Kemudian dari dalam rumah yang berlantai tanah itu keluar dua pasangan tua, Paridin (55) dan Patri (50), mereka orang tua Farikah. Tanpa menyapa putrinya, keduanya mengambili jemuran potongan ketela yang seharian dijemur di atas genting rumah. Farikah berusaha membantu keduanya.
Namun dari suara lirih ibunya yang memakai kebaya putih yang sudah kusut itu meminta putrinya untuk memasukkan pakaian di kardus bekas tempat syrup ternama buatan ibukota. Farikah menganggukkan kepala dan membawa kardus yang dibelinya dari warung yang terletak di ujung desa.
Sebelum masuk kamarnya, Farikah mengambil kendi (tempat minum dari tanah liat, red) dan meneguknya. Dari luar halaman depan rumahnya, terdengar salah satu kerabatnya memanggil nama Farikah dan mengajak untuk makan ketela yang dicampur beras.
“Minyak gak bisa dimakan, tapi kalau menyok (ketela) bisa dimakan, “ kata Budi (40) yang masih paman dari Farikah. Dialah yang akan mengantar Farikah ke Surabaya dan meninggalkan desa untuk tidak lagi dapat bersekolah dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
PWBCARE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar